Jakarta, Telago.id- Prof KH Sutan Nasomal SH,MH Menghimbau kepada Bapak Presiden RI Bapak Jendral H Prabowo Subianto agar mengkaji ulang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomer 146/PUU – XXII/2024. Seperti belum sesuai harapan Masyarakat luas.
Harapan besar dari semua Masyarakat INDONESIA adalah sebuah produk undang undang tidak bersitegang dengan norma norma agama atau norma norma sosial budaya serta kultur kearifan luas di dalam tatanan Masyarakat saat ini yang sudah menerima Idiologi Pancasila.
Sesuai sila pertama mengatur kehidupan beragama serta mendukung pelaksanaan semua peraturan didalamnya. Maka Negara seharusnya hadir tidak mendukung kegiatan hidup bersama (kumpul kebo) atau memberikan solusi meresmikan pernikahan dari pasangan yang berbeda agama dengan dasar akan ketentuan Agama. Di mana pasangan yang memilih menikah dengan pasangan yang berbeda agama sudah pasti murtad dari agamanya.
Apalagi MA sifatnya adalah menetapkan hukum ke Negaraan, sedangkan persoalan sah atau tidaknya pernikahan beda agama hendaknya dikembalikan ke masing-masing organisasi agama. “Dari segi sah tidaknya itu ada pada masing-masing agama. Mungkin dari agama Islam ada Majelis Ulama, nanti agama kristen ada KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), PGI (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia), dan juga agama-agama lain,”
Terkait masalah anak anak dari orang tua yang menikah berbeda agama ini, MA sudah angkat bicara. Juru Bicara MA Suharto mengatakan, SEMA Nomor 2 Tahun 2023 sedianya tak mengatur nasib anak-anak yang lahir dari orangtua yang menikah beda agama. “SEMA tersebut tidak atau belum mengatur soal itu,” kata Suharto
Juga tidak mengatur persoalan hukum waris
*Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa beda agama tidak bisa menjadi ahli waris. Hal ini diatur dalam Pasal 171 c . Kecuali ada wasiat tertulis serta para saksi*
*Maka permasalahan waris akan menjadi polemik bila ada pihak pihak yang menolak dan akan merugikan pihak lainnya dengan upaya bantuan hukum atau tidak dengan bantuan hukum*
*Tentu Bapak Presiden RI Bapak Jendral H Prabowo Subianto bisa membayangkan polimik hukum yang akan tidak sehat terkait hukum waris dan persoalan pernikahan dari pasangan berbeda agama menurut Prof KH Sutan Nasomal SH,MH*
(Undang Undang No 1 Tahun 1974 )
Pengakuan pernikahan beda agama atau pernikahan antaragama apakah tidak menjadi undang undang yang menabrak undang undang lainnya serta merugikan Masyarakat religius sesuai amanah Undang Undang Dasar 1945
UU Perkawinan merupakan perwujudan dari negara Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana termuat pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya pada kehidupan masyarakat Indonesia, wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat Hindu bagi orang Hindu. Untuk menjalankan syariat tersebut, diperlukan perantaraan kekuasaan negara. Maka, dalam UU Perkawinan dasar hukum yang digunakan tidak lain adalah Pasal 29 UUD 1945, sehingga setiap pasal-pasal yang ada di dalam suatu norma harus dijiwai dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Pasal 29 UUD 1945. Artinya, semua ketentuan (termasuk perkawinan) harus sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945 yang menjadi syarat mutlak.
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), akad perkawinan menjadi sah setelah memenuhi syarat perkawinan, di antaranya bagi calon mempelai laki-laki beragama Islam dan calon mempelai perempuan beragama Islam, di antara mereka tidak terdapat halangan untuk melangsungkan perkawinan atau halangan perkawinan karena perbedaan agama. Sehingga larangan perkawinan karena perbedaan agama bagi orang Islam di Indonesia terdapat dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (1) yang dihubungkan dengan Pasal 8 huruf f, Pasal 40 hururf c, dan Pasal 44 KHI.
“Menurut hukum Islam, perkawinan itu merupakan ibadah, maka perlindungan terhadap orang Islam dalam melaksanakan ibadah melalui pelaksanaan perkawinan tersebut terdapat dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Perkawinan itu berkaitan dengan tatanan masyarakat. Perkawinan itu harus seagama.
Putusan untuk mengizinkan pencatatan nikah beda agama ini ditetapkan dalam Penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby”. Alasannya karena adanya kekosongan hukum, demi Hak Asasi Manusia (HAM) dan menghindari kumpul kebo.
Padahal saat yang bersamaan ia telah melanggar hukum yang berlaku, tidak memenuhi HAM dan melegalkan kumpul kebo. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia di bagian Bab hak untuk berkeluarga dan melanjutnya keturunan pasal 10 dikatakan, “Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”
Lebih tegas lagi larangan menikah beda agama pada Pasal 44: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Pasal 61 disebutkan: “Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien.” Tentu undang-undang dan peraturan perkawinan itu menyerap dari hukum Islam. Surat al-Baqarah ayat 221 Allah SWT melarang pernikahan beda agama dan sama sekali tak membuka peluang disahkan:
Majelis Ulama Indonesia nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 mengeluarkan fatwa tentang hukum larangan pernikahan beda agama sebagai berikut: – Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. – Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah. Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar Ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989. Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah.
Sedangkan organisasi Muhammadiyah dalam keputusan Muktamar Tarjih Ke-22 tahun 1989 di Malang Jawa Timur telah mentarjihkan/menguatkan pendapat yang mengatakan tidak boleh menikahi wanita non-muslimah atau Ahlul Kitab, dengan beberapa alasan sebagai berikut: – Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang ada pada waktu zaman Nabi SAW. – Semua Ahlul Kitab zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik atau menyekutukan Allah SWT, dengan mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah (menurut Yahudi) dan Isa itu anak Allah (menurut Nasrani). – Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah sebagai tujuan utama dilaksanakannya pernikahan.
Larangan pernikahan beda agama ini kemudian di rumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. KHI yang diberlakukan dengan Instruksi Persiden (Inpres) Nomor 1 tahun 1991, melarang seorang muslim melakukan perkawinan beda agama. Larangan ini diatur dalam pasal 40 huruf c KHI. Sementara larangan pernikahan beda agama bagi wanita diatur dalam pasal 44 KHI. Secara Normatif larangan menikah beda agama ini tidak menjadi masalah, karena hal tersebut sejalan dengan ketentuan al-Qur’an yang disepakati oleh para fuqaha’.
Hukum dan Keadilan Untuk Masyarakat, Bangsa dan Negara.
Soal menikah beda agama, MUI juga memiliki Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tanggal 28 Juli 2005 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 (c) dan Pasal 44 pun sejalan dengan afirmasi Al-Qur’an tersebut dengan menetapkan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
Seorang bapak yang non-Muslim hendak menikahkan anaknya yang Muslim.
Bagaimana keabsahannya menurut fikih?
(Prof Quraish Shihab)
soal status wali. Menurut Quraish Shihab, seorang bapak yang non-Muslim tidak boleh menikahkan putrinya yang Muslimah. Sebab, lanjut dia, dalam pandangan ulama-ulama, tidak sah perwalian seorang yang berbeda agama dengan perempuan yang dinikahkannya
Nah, jika wali keadaannya seperti itu, maka hak perwalian berpindah kepada peringkat berikutnya. Peringkat perwalian menurut mazhab Syafi’ adalah: (1) bapak, (2) kakek [ayah bapak], (3) ayahnya ayah bapak, (4) saudara sekandung, (5) dan seterusnya.
Yang jelas, jika wali dengan segala peraturan yang ditetapkan itu tidak ada atau bahkan tidak memenuhi syarat, maka penguasa (kantor urusan agama/KUA) yang menikahkannya.
Perkawinan Beda Agama Tidak Sah
Sementara itu terhadap dalil Pemohon yang menyatakan terhalang menikah karena perbedaan agama, Amin menerangkan keterkaitannya dengan ketentuan pada UU Perkawinan khususnya Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f yang dinilainya tidak berlawanan dengan UUD 1945. Sebab di dalamnya tidak ada pasal-pasal yang merugikan hak-hak konstitusional warga negara Indonesia. Terkait dengan perkawinan beda agama yakni antara calon mempelai muslim/muslimah dengan calon mempelai non-muslim/muslimah, pada dasarnya ‘dihukumkan haram’ dan dinyatakan ‘tidak sah’ secara hukum, baik menurut semangat peraturan perundang-undangan negara maupun spirit hukum agama Islam (fikih).
“Bahkan menurut kecenderungan hukum yang hidup pada kebanyakan masyarakat muslim di Indonesia, dan berdasarkan pada bagian terbesar masyarakat beragama non Islam yang lain-lainnya sebagaimana termuat dalam Pasal 8 huruf f UU Perkawinan itu, melarang perkawinan antara orang yang berbeda agama, dalam hal ini antara warga negara yang beragama Islam dengan non-muslim,”
Pada Kesimpulan :
Prof KH Sutan Nasomal SH.MH menyampaikan kepada Nofis team media, senen (06/01/2024).
Negara harus hadir menguatkan hukum larangan menikah dengan pasangan berbeda agama agar tidak merusak ketentuan norma norma dalam agama. Maka tidak akan ada pihak yang dirugikan pada anak anak atau keturunan dari nasab dan hak mendapatkan waris sesuai ketetapan hukum.
Bila negara tidak mendukung aturan agama sebagai dasar dari Undang Undang Dasar 1945 yang mengatur melarang pernikahan berbeda agama. Apakah Negara Hadir menghianati aturan agama sebagai ruh dari Pancasila dan UUD 1945
Narasumber : Prof KH Sutan Nasomal SH,MH
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Telago.id.